AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Pengertian
As-Sunnah secara bahasa
berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan",
dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr"
artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai
arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan
"as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda
Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam ,
"Sungguh kamu akan
mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no
3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh Rasulullah
shalallahu'alaihi wassalam dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu,
‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang
berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah
"bid'ah". Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda,
"Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh
pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah
mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR.
Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim
(I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan
hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani.
Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan
sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat
"jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka
berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'"
(perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga
lawan kata dari "furqah" (perpecahan).
Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga
sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah.
(Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul
Muhiith: (bab: Jama'a).
Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat
ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak
kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan
Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh
oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam baik secara lahir maupun bathin.
Ahlussunnah wal jamaah versi ulama NU
Untuk mengidentifikasi kelompok yang paling sah dikategorikan
sebagai ahlussunnah waljamaah, akan lebih tepat jika mengacu kepada pendapat
para ulama yang diakui kapabilitas maupun kredibilitasnya. Dalam kitab Ithaf
al-sadat al-muttaqin, Imam Al-Hafidz Al-Zabidi mengatakan bahwa jika disebutkan
istilah ahlussunnah waljamaah, maka yang dimaksud adalah pengikut Madzhab
al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Pengertian senada juga disebutkan oleh Imam Ahmad
bin Hajar Al-Haitami dalam kitab Tathhir al-Janan wa al-Lisan.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, dalam kitab Ziyadat Ta’liqat
menyebutkan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli
hadis, dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengn sunah
Nabi saw dan sunah khulafaur rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang
selamat (firqah an-najiyah). Dan mereka sekarang ini tehimpun dalam madzhab
empat yakni Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Kesimpulannya bahwa
ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang dalam akidah mengikuti ajaran Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, dalam bidang fikih mengikuti
Madzahibul Arba’ah, dan bidang tasawuf mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan
Imam al-Ghazali.
Ciri ajaran ahlussunnah wal jamaah
Jika ditanyakan ciri khusus yang membedakan akidah ahlussunnah wal
jamaah dengan aliran lainnya adalah bahwa kaum ahlussunnah wal jamaah meyakini
jika Allah ada (wujud) tanpa arah dan tanpa tempat. Pendapat ini didasarkan
pada nash Al-Qur’an surat Al-Syura, 11. Hal ini diperkuat oleh statemen
Sayidina Ali bin Abi Thalib yang dinuqil dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq
karya Abdul Qahir Al-Baghdadi, bahwa Allah swt. itu ada sebelum adanya tempat,
dan keberadaan Allah swt. sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya
tempat.
Selain itu, ciri khas golongan ahlussunnah wal jamaah adalah
berusaha memelihara kebersamaan, kerukunan dan kolektifitas. Meskipun terjadi
perbedaan pendapat baik internal golongan maupun dengan fihak di luar
ahlussunnah waljamaah, golongan ini selalu berusaha menghindari perpecahan
dengan meninggalkan sikap saling mengkafirkan, membid’ahkan dan memusyrikkan.
Selalu mengedepankan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun
(seimbang), dan adil.
Lebih mudahnya, inilah beberapa khashois Aswaja versi hasil sidang
komisi rekomendasi Muktamar Ke-33 NU.
1. Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah merupakan satu-satunya firqah
(golongan) di antara berbagai firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW
sebagai firqah ahli surga. Mereka adalah para shahabat Nabi SAW. yang dikenal
dengan sebutan As-Salafush Shalih yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah
Nabi. SAW. dan dilanjutkan oleh tabi’in dan tabi’it tabi’in, dua generasi yang
memiliki keutamaan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh
para pengikutnya sampai sekarang.
2. Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok
syari’at Islam, dan menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma’
dan qiyas.
3. Memahami syari’at Islam dari sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah
melalui:
a. sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku
dan saksi ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai
pemikiran yang diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas tasyri’ (penetapan
hukum syar’i) setelah beliau wafat. Mereka terutama empat shahabat yang disebut
oleh Nabi SAW. sebagai Al-Khulafa’ al-Rasyidun telah menyaksikan langsung dan
memahami dengan cermat pelaksanaan tasyri’ yang dipraktikkan oleh Nabi SAW.
b. sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi’in dan tabi’it
tabi’in yang telah meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri’. Mereka telah
mengembangkan perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat
umum, kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka adalah para Imam mujtahid,
Imam hadits dan lainnya.
4. Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan
kaidah-kaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu’aradlah
(pertentangan) antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan
diterima:
a. empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fiqh dari
kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah merumuskan kaidah-kaidah
ushuliyyah dan menerapkannya dalam melaksanakan tasyri’ yang kemudian menjadi
pedoman bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Empat mujtahid besar itu; a.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas
(93-173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204 H.), dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
b. para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324),
dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
c. keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori
taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi
dalam thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal
ini menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul Qasim Al-Junaid al-Baghdadi
(W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
5. Melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (komprehensif), dan
tidak mengabaikan sebagian yang lain.
6. Memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara tawassuth
(moderat), dan tidak ifrath dan tafrith.
7. Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan
tidak mengklaim bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat lain
dianggap salah.
8. Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari’at
Islam meskipun dengan cara masing-masing.
9. Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah
(bijak/arif), dan tanpa tindak kekerasan dan paksaan.
10. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta
menghormatinya, dan menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap
mereka, apalagi menuduh kafir.
11. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma’shum
(terjaga) dari kesalahan dan dosa.
12. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari
berbagai hal yang dapat menimbulkan permusuhan.
Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong,
menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.
13. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk
agama lain.
( Disampaikan pada kegiatan Daurah Ahli Sunnah Wal Jama’ah
Annahdliyah di MTs MANBA’UL ‘ULUM Buntaran Rejotangan Tulungagung )
2 komentar:
pokoke NU ae lek,.... mantap.
Makalah pak ya?tidak ada footnote nya?
Posting Komentar